Kali ini lagi pengen bahas tentang anak. Tapi bukan tentang
cara bikin anak, ya meskipun itu gak kalah seru sih yaaa emmmm. Oke fokus.
Anak itu apa sih? Anak adalah hasil dari pergaulan dua
sejoli yang sukses. Ah terlalu awam.
Anak adalah hasil akhir dari bertemunya sel sperma dan ovum
yang terbentuk dari zygot hingga janin selama 9 bulan 10 hari lalu keluar
melalui sebuah bejana. Ah terlalu biologi.
Jadi, anak itu?
Menurut Konvensi Hak Anak, anak adalah seseorang yang
berusia di bawah 18 tahun kecuali ditentukan telah mencapai dewasa lebih awal.
Menurut UU No 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak pasal 1 butir (1), anak
adalah seseorang yang belum mencapai 21
tahun dan belum pernah kawin.
Menurut KUHPerdata pasal 330 yang belum dewasa adalah mereka
yang belum genap berusia 21 tahun dan belum pernah kawin.
Yap kira-kira itu beberapa pengertian anak menurut
perundang-undangan negara kita, ketika lo belom 21 tahun dan belom pernah
kawin, bisa disebut masih anak-anak, tapi ya gak usah sok imut ye. Kalo
misalnya belom 21 tahun tapi udah kawin? Lo bukan anak, meskipun usia belom 21
tahun tapi ketika lo udah kawin atau nikah, udah dianggap dapat bertanggung
jawab ya karna nikah aja udah mampu, berarti mampu juga bertanggung jawab di
depan hukum.
Oke cukup pengertian tentang anak, yang mau gue bahas di
sini adalah tentang mirisnya nasib anak di negara kita. Kok miris? Pertanyaan retoris
sih itu. Cuman biar keliatan bijak, gue jawab ya, perlindungan anak di negara
kita masih kurang dan pihak yang wajib melindungi malah terkadang mencelakakan.
Pernah denger kasus tentang anak? Setiap hari mungkin. Ada yang
jadi korban KDRT, ada yang jadi korban masalah ekonomi orang tuanya yang
akhirnya dibunuh saking stressnya, ada yang jadi korban birahi orang dewasa
bahkan orang tuanya sendiri, ada yang jadi korban perdagangan anak, ada yang
jadi korban pemerkosaan dan penyodoman, ada yang jadi korban pelacuran, what’s
more? Masih banyak lagi. Lihat siapa pelakunya? Mereka yang harusnya memberi
perlindungan pada anak.
Beberapa kasus justru sangat miris, ada seorang ibu yang
membunuh anak lelakinya yang umurnya baru 8 tahun gara-gara alat vitalnya
kecil. Oh men. Bu, kenapa harus dibunuh? Kenapa gak dibawa ke mak erot atau on
clinic atau siapa tau nanti jadi gede seiring waktu, kan masih 8 tahun, bu. Salah
satu pihak yang diharapkan menjadi pelindung anak, ya seorang ibu. Baca berita selengkapnya klik di sini ya!.
Kasus lain baru-baru ini adalah oknum polisi ya polisi ya
yang fungsinya mengayomi masyarakat malah jadi menyodomi bocah. Polisi ini
punya partner sodom karena bukan cuman dia, tetapi kuli bangunan juga ikut
menyodomi si anak berumur 5 tahun ini. Mereka diduga mempunyai disorientasi
seksual. Dear man, kalo lo emang mau begitu, cari deh orang dewasa yang sudah
siap physicly and mentally buat melakukan hubungan seksual. Anak 5 tahun yang
harusnya bisa berkembang dan tumbuh dengan normal harus menanggung sakit fisik
dan mental serta trauma sepanjang hidupnya karena birahi oknum tak bertanggung
jawab. Nih berita selengkapya, just click!
Selain kasus ini, ada juga kasus di Solo, Jawa Tengah yaitu kasus di
mana 2 orang anak kakak-beradik mencuri kotak amal di masjid lalu tertangkap,
ketika diperiksa dan ditanya oleh polisi mereka hanya diam ketakutan dan tak
mau mengaku. Karena kesal polisi lalu memukul anak-anak itu agar mengaku namun
terlalu keras dan berakibat 2 anak itu tewas. Takut ketahuan, sang polisi pun
menggantung 2 anak tersebut agar terkesan mereka bunuh diri. Sungguh miris
melihat kelakuan beberapa oknum polisi yang menjalankan fungsi tugasnya
terbalik dari tujuan.
Jadi harus bagaimana kita menyikapi masalah anak yang kian
lama kian menakutkan di negara kita ini? Ketakutan dan keselamatan anak
harusnya menjadi prioritas yang perlu diperhatikan orang dewasa yang secara
fisik, mental, dan pikiran lebih di atas anak-anak, bukan malah orang dewasa
yang menjadi momok yang menakutkan untuk anak-anak. Rasanya peningkatan
perlindungan dan pemberian kesejahteraan untuk anak perlu diperhatikan. Bukan maksud
membandingkan tapi memang rasanya kita perlu belajar dari negara lain dalam
memperhatikan kesejahteraan anak-anak. Di California dan di banyak negara
lainnya, anak-anak mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah tinggi diberi
snack dan makanan bergizi di pagi hari, siang, dan sore di mana semua itu
gratis dan dibiayai negara. Bahkan di Inggris tiap anak diberi 100
poundsterling per bulan untuk kesejahteraannya bila orang tuanya tidak bekerja
atau tidak mampu. Kita pun mampu memberi kesejahteraan seperti itu, bisa
dimulai dengan penyaluran 20% anggaran APBN untuk pendidikan diawasi dan
dipastikan semua tersalurkan dengan baik, peningkatan anggaran beasiswa dan
mungkin sekolah gratis hingga SMA.
Lalu bagaimana dengan perlindungan anak? Sudah
cukupkah adanya KOMNAS anak? Sepertinya belum. Karena pada kenyataannya anak
dibawa ke KOMNAS anak setelah mereka menjadi korban, yang artinya telah terjadi
pelanggaran hak anak. Harusnya sih dicegah, selain dengan cara peningkatan
keejahteraan tiap kepala keluarga, peningkatan tingkat kereligiusan dalam
keluarga, peningkatan kesadaran akan hak anak juga perlu dalam hal ini. Jadi,
gak gampang kan jadi anak? Lebih gak gampang lagi melindungi anak, but we must.
Kita semua pernah menjadi anak-anak, dan bayangkan betapa sedihnya kita jika
hal-hal menakutkan itu menimpa kita sewaktu anak-anak, atau menimpa anak-anak
kita (kelak), atau keluarga kita yg masih anak-anak, maka jangan anggap remeh
masalah perlindungan anak di negara kita ini.
Btw, kalo mau tau apa aja sih hak-hak anak, bisa searching aja di google :
- Konvensi Hak Anak PBB 1959
- UU No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
- UU No 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
- UU No 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Anak (yang baru)
- UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
- Beijing Rules
Tidak ada komentar:
Posting Komentar